Sah… Sarjana Balairung
###
Kotagede siang itu lumayan terik, namun tak menyurutkan langkah untuk menyusuri jalanan yang terbilang cukup sempit. Tak jauh dari Pasar Legi yang terkenal akan jajanannya itu, kami berbelok ke gang sempit menuju sebuah SMA. Di tengah puing-puing sisa gempa saya memarkir motor hitam yang sudah setia menemani mbribik cewek sejak masih berseragam putih abu-abu.
Remaja laki-laki itu tak henti melempar senyum saat kami berbincang. Dengan penuh semangat dia bercerita tentang keseharian, teman-teman, mimpi dan cita-citanya.
“Saya ingin masuk UGM mas, walaupun saya ini tuna netra, saya yakin bisa bersaing dengan yang lainnya.. Semoga UGM mau menerima saya ya mas..”
Seketika saya ingin menangis saat dia mengutarakan mimpinya, tertohok sekali rasanya melihat semangat seorang yang memiliki keterbatasan fisik sepertinya ingin diterima di kampus biru yang katanya kerakyatan itu. Laki-laki ini memang bukan siswa biasa, dia adalah seorang difabel yang menjadi juara kelas di sekolahnya yang merupakan sekolah umum (inklusi). Subhanallah.
Ya, saya bersama Mbak Nuri seorang senior yang cukup manis saat itu sedang melakukan riset tentang civil disobedience untuk Jurnal Balairung. Sebuah pengalaman yang berharga, kadang memang kita dipertemukan dengan orang-orang tak terduga yang akan menampar dan mengubah pandangan kita.
###
“Sebelum kita usia 25 tapi mendukung pemerintah, sungguh tak punya hati. Setelah 25 tidak mendukung pemerintah, sungguh tak punya otak..”
Awalnya sedikit kaget mendengar kalimat itu, namun saya mahfum pernyataan itu keluar dari seorang menteri loyalis SBY. Andi Mallarangeng, sang menteri flamboyan itu dengan semangat bercerita mengenang jaman mudanya sebagai aktivis mahasiswa dalam kekangan rezim orba. Awalnya ia bercita-cita menjadi atlet tenis, namun jalan hidup membawanya ke Jogja menimba ilmu di kampus biru sebelum akhirnya menjadi intelektual publik yang cemerlang dan dekat dengan kekuasaan.
Sekitar setengah jam kami berbincang di ruangan kantornya di Kemenpora. Saat itu menjelang akhir 2009, belum genap 2 bulan dia dilantik menjadi menteri. Saya bersama beberapa teman Balairung berkesempatan mewawancarainya untuk profil di Majalah. Waktu yang sangat singkat itu juga kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk “menodong” dia mensponsori majalah kami.
Perjuangan kami di Jakarta saat itu akhirnya tak sia-sia. Majalah Balairung edisi spesial dies natalis 60 tahun UGM terbit dengan tampilan cukup “mewah”. Itulah persembahan terakhir saya sebagai pengurus aktif Balairung sebelum demisioner di awal 2010.
###
Dua pengalaman tersebut begitu membekas bagi saya selama aktif di BPPM Balairung. Tahun-tahun di sana merupakan episode-episode menyenangkan sekaligus menegangkan. Berawal dari keisengan yang akhirnya saya kecemplung basah masuk ke dalam komunitas B21. Sebuah rumah kecil yang menghidupi mimpi-mimpi kami yang sedang mencari jati diri.
Tempat ini yang mengubah sebagian besar arah hidup saya. Di rumah kecil itu saya belajar begitu banyak tentang profesionalitas, idealisme, integritas, hingga cinta persahabatan. Selamat ulang tahun Balairung. Terima kasih untuk semua pelajaran, pengalaman dan kenangan. Tetaplah menjadi nafas intelektual mahasiswa, dan cagar alam kebebasan pers Indonesia.
Menarilah dan terus tertawa… Walau dunia tak seindah surga…
Dalam Tol Jakarta menuju Jogja,
29 Oktober 2015
October 30, 2015 — 2:25 pm
pertamaX..
kopdar jogjaaa lagi inihhh
November 2, 2015 — 5:36 am
*sungkem dumateng nabi*
July 27, 2018 — 12:38 pm
masyaallah kalau baca yg begini jadi sadar ternyata masih harus banyak bersyukur sama lebih empati sama orang, thank you mas!
May 6, 2020 — 6:50 am
Hehe sama-sama…