Tiga hari terakhir ini, berturut-turut saya berkesempatan menonton film Siti, Surat dari Praha dan Lovely Man. Secara kebetulan tiga film ini ternyata punya satu benang merah yang sama, yaitu relasi orang tua dan anak. Relasi yang menurut saya kok lebih menarik dan sentimentil daripada kisah percintaan menye-menye dua muda-mudi.

Film pertama, Siti, sebenarnya tak spesifik berkisah tentang relasi ini. Namun, hubungannya dengan Bagas, anaknya maupun dg ibu mertuanya cukup menarik perhatian (setidaknya bagi saya). Siti yg beban hidupnya sudah terlampau berat menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya lumpuh dan tak mau bicara dengannya, menghadapi anaknya, Bagas yang bandel namun cerdas dan lucu.

Gambar dari sini

Dialog ibu dan anak ini sangat jenaka dan sangat natural. “Golek duit terus, kapan ngajari aku matematika?” tukas Bagas pada Siti ketika akan berangkat kerja di karaoke. Pun, dengan ibu mertuanya, yang tergambarkan religius, namun bisa mengerti keadaan Siti yang (terpaksa) harus bekerja sebagai LC (pemandu karaoke).

“Gusti Allah ora sare, Ti” “Ora, mung lagi piknik”

Surat dari Praha menawarkan kisah lain tentang konflik ibu dan anak perempuannya. Seorang ibu yang dianggap ga ‘peduli’ terhadap keluarganya setelah datang surat-surat dari mantan kekasihnya di Praha yang tak bisa pulang ke Indonesia karena menolak Orba.

Hingga takdir membawa sang putri ke Praha untuk mengantarkan surat balasan ibunya, dan di sinilah sang putri akhirnya bisa berdamai dg kenyataan dan memahami hubungan ibunya dg mantan kekasihnya.

Film terakhir, Lovely Man saya tonton lagi setelah dulu pertama nonton di Kineforum TIM sebagai bagian dari trilogi keiintiman Tedy Soeriaatmadja. Kisah yang paling menyentuh antara seorang bapak yg berprofesi sebagai waria dengan putrinya yang alim berkerudung namun ternyata hamil di luar nikah. Ya, terkadang realitas memang se’lucu’ itu.