#31HariMenulis Hari ke-8

Melanjutkan tulisan kemarin, tentang tren perilaku konsumen yang menjadi kenormalan baru di masa corona. Kemarin ada 5 tren yang saya jabarkan, dan bersambung ke hari ini yang akan saya tambah 5 lagi.

Gambar dari sini

6. Jamu is the New Cappuccino

Jamu menjadi minuman yang paling banyak dicari saat ini. Pada awal kasus pasien COVID-19 terdeteksi, masyarakat panik dan langsung menyerbu supermarket serta apotek mencari hand sanitizer. Namun, ketika para ahli mengatakan bahwa mpon-mpon yang merupakan bahan dasar minuman jamu dapat menangkal virus COVID-19, jamu langsung laris manis di pasaran.

Wabah COVID-19 menjadikan jamu menjadi new lifestyle. Jamu is the new cappuccino. Menurut survei dari Kantar, masyarakat Indonesia semakin rajin mengonsumsi Jamu. Sebanyak 65% mengatakan, minum jamu telah menjadi kebiasaan. Jika dahulu minuman jamu dianggap minuman jadul, justru kini diikuti oleh sebagian besar masyarakat modern di kota besar.

7. Virtual Concert

Industri konser musik termasuk yang paling keras dihantam oleh wabah COVID-19. Banyak konser harus dibatalkan akibat pemberlakuan PSBB dan
para penyelenggara mengalami kerugian. Di titik ini, para pelaku entertainment tidak hanya berdiam diri, mereka harus memasuki “survival mode” dengan melakukan inovasi menggelar virtual concert.

Menariknya, virtual concert menjadi sarana komunikasi baru yang lebih intens bagi musisi dan penonton. Survei dari Nielsen, konsumen rela membayar tiket untuk menyaksikan konser secara personal.

“More personal, more engage”

8. The Emerging VirSocial

Kami menyebutnya VirSocial (“virtual social”) activities, yaitu aktivitas bersama-sama baik nongkrong, olahraga, senam, meditasi dan yoga, hingga nge-game. Aktivitas sosial selama ini wajib dilakukan secara ketemu fisik, karena di situlah kenikmatan pengalamannya.

Namun di tengah bahaya wabah yang mengintai setiap saat, konsumen dipaksa “menikmati” pengalaman virtual untuk aktivitas-aktivitas bersama mereka. Beberapa minggu terakhir marak aktivitas “nongkrong” temen-teman sekantor, sekampung, sekomunitas, hingga sesama alumni SD hingga kuliah, yang dilakukan via Zoom. Ini adalah kebiasaan baru yang sebelumnya tak dikenal.

9. Flexible Working Hours: From “9-to-5” to “3-to-2”

Dalam buku Millennials Kill Everything (2019) saya mengatakan, ke depan milenial “membunuh” jam kerja “9-to-5”. Rupanya Covid-19 membunuhnya lebih cepat. Saat ini semua karyawan dipaksa untuk menjalankan “work from home” (WFH). Sehingga mereka berkesempatan melakukan “eksperimen” untuk menjalankan pola kerja flexible working hour (FWH).

Awalnya memang denial (apalagi harus menggunakan platform digital remote working seperti Zoom atau Webex), namun setelah berjalan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, maka mereka mulai terbiasa, menikmatinya, dan ketagihan. Mereka makin produktif karena lebih banyak waktu berkumpul dengan keluarga.

Di tengah risiko bisnis yang kian tinggi pasca wabah, operasi perusahaan
semakin “asset-light” dengan memangkas sebanyak mungkin biaya overhead. Maka WFH dan FWH pun menemukan jalan untuk menjadi kenormalan baru. Prediksi saya jam kerja “9-to-5” akan berubah menjadi “3-to-2” yaitu jam kerja 3 hari di kantor dan 2 hari di rumah dalam seminggu.

10. Telemedicine: from Visit to Virtual

Krisis pandemi akan menjadi akselerator revolusi di dunia kesehatan yaitu telemedicine dan virtual health. Seperti halnya remote working dan online learning, konsumen dipaksa untuk mengadopsi gaya baru berobat yaitu secara virtual.

Layanan medis adalah hal yang krusial di saat krisis seperti ini. Namun, himbauan untuk sementara waktu pasien tidak melakukan kunjungan, dokter sementara masyarakat memiliki kebutuhan konsultasi rutin maupun sekedar ingin memastikan apakah mereka tertular virus.